![]() |
Sumber gambar: disini |
Bertubi-tubi dalil naqli bertebaran selama bulan Ramadhan,
mulai dari yang paling shahih hingga yang paling lemah sumbernya. Hampir
semuanya berkisar tentang pemanfaatan waktu Ramadhan, sedikit di antaranya
mengulas tentang bagaimana mempertahankan semangat Ramadhan di bulan-bulan
selanjutnya. Nah, kalau kita bergeser ke dalil aqli, maka izinkan ulasan ini mengarah
ke pelajaran fisika SMA, berupa Hukum I Newton dalam logika datang dan pulangnya
Ramadhan sang tamu istimewa kita.
Hukum I Newton yang bertajuk kelembaman benda memahamkan
kita bahwa,”Benda yang diam akan selamanya diam sampai ada gaya F yang
menggerakkannya. Sebaliknya, benda yang bergerak akan selamanya bergerak sampai
ada gaya f yang mendiamkannya.” Pilihan bahasa ini sudah disederhanakan agar
mudah dipahami.
Fenomena hukum I Newton tercermin saat kita berusaha menggerakkan sepeda yang awalnya diam, biasanya membutuhkan gaya dorong berupa kayuhan yang lebih besar daripada ketika kita mengayuh sepeda yang sebelumnya sudah bergerak. Artinya, ada kecenderungan benda ingin terus diam, bila ia dimulai dari diam. Untuk mulai menggerakkannya, perlu gaya dorong F berupa kayuhan kaki kita.
Sebaliknya, hukum
kelembaman juga tercermin ketika kita berusaha mengerem laju jalan sepeda, biasanya
orang yang membonceng akan sedikit terpelanting ke depan. Artinya, ada
kecenderungan benda ingin terus bergerak, kalau ia sudah terlanjur nyaman bergerak.
Oleh karena itu, perlu adanya gaya hambat f berupa rem sepeda.
***
Apa kaitannya hukum fisika ini dengan Ramadhan? Sedikitnya,
ada dua pelajaran “aqli” dari teori kelembaman ini.
Pertama; Peralihan
awal Ramadhan
Ketika kita bertemu di awal bulan Ramadhan,mind-set kita
baik, semangat kita baik, niat kita baik, ibadah kita baik, akhlak kita baik,
bahkan kita berlomba-lomba untuk menambah beragam macam kebaikan. Namun di
balik itu, keburukan belum efektif dapat terkontrol. Kita kadang menyebut
fenomena ini dengan dalih, “Katanya syetan dibelenggu saat Ramadhan, kok kriminal
tetap merajalela?”
Nah kita akan jawab pertanyaan fantastis ini dengan alasan bahwa
, “Allah telah mendorong kebaikan Ramadhan, maka kita bersemangat ibadah. Allah
pun membelenggu keburukan selama Ramadhan, namun muncul jeda waktu antara dibelenggunya
keburukan oleh Allah hingga manusia itu sendiri betul-betul memberhentikan
keburukannya.”
Analoginya begini, ”Ketika
kita mengaduk kopi, lantas melepaskan adukan, gerakan mengaduk masih saja berputar.
Masalahnya adalah maukah gaya hambat f kita berusaha memberhentikan adukan,
atau justru kitalah yang malah melanjutkan adukan keburukan? Dengan kata lain,
keburukan terus saja terjadi walau di bulan Ramadhan? Na’udzubillahi min
dzaalik.
Semoga awal Ramadhan lalu, kita berhasil menghentikan adukan
keburukan kita atas izin Allah, dan sebaliknya semoga kita berhasil mengayuh sepeda
ibadah kita selama Ramadhan.
Kedua; Peralihan akhir
Ramadhan
Ketika berjumpa di akhir Ramadhan, niat kita baik, semangat
kita baik, ibadah kita diperkencang, begitu pula sedekah dan tukar uang dilakukan
untuk bagi-bagi saat lebaran. Namun di balik itu, tahukah kalau kita sedang
disasar syetan agar kebaikan selama Ramadhan berhenti? Tahukah kita bahwa kita
sedang ditarget syetan agar keburukan seusai Ramadhan nanti bakal dimulai lagi?
Hukum Newton I pun berlaku di sini. Saat Ramadhan pulang
keharibaan, logika kita merasa bahwa kita perlu berubah. Sepeda kebaikan pun tak
dilanjutkan lagi kayuan gaya dorong F-nya. Hasilnya, aspal-aspal keras
kehidupan memunculkan gaya hambat f yang lambat laun memperlambat gerak
kebaikan kita, atau parahnya menghentikannya secara total. Sebaliknya untuk
masalah keburukan juga demikian. Yang sudah lama maksiat tak dilakukan, lambat
laun didorong untuk menggeliat kembali hingga lama-lama makin nyaman lagi. Baik
logika melambatnya kebaikan dan melajunya keburukan ini, didukung oleh anggapan
bahwa “SAYA KHAN SUDAH TIDAK DI BULAN RAMADHAN YANG PENUH BONUS PAHALA DAN BALASAN
AMPUNAN.” Na’udzubillah…
Bagaimana melanjutkan
akhir Ramadhan dengan Baik?
Ketika Ramadhan sudah berpulang dan taqwa (tattaqun) menjadi
oleh-oleh utama bersanding kesyukuran (tasykurun) sekaligus kebenaran
(yarsyudun), sejatinya Allah menghentikan gaya dorong ibadah kita dan
melepaskan belenggu syetan pembisik nafsu kita. Maka seharusnyalah menjadi
tugas kita bahwa kebaikan-kebaikan yang sudah terlanjur dibiasakan, agar terus
kita lanjutkan gaya dorongnya dengan kayuhan keimanan. Seharusnyalah pula bahwa
keburukan-keburukan yang sudah terlanjur dihentikan, agar terus kita belenggu
dengan rem keimanan.
Bila di dalam bulan Ramadhan, Allah telah mendukung kita
melalui ilham kebaikan dan lingkungan yang memudahkan pengaktualisasiannya juga
dalam menjauhi keburukan yang ada, maka di luar bulan Ramadhan, semua
tergantung kepada kita. Maukah kita lanjutkan gaya dorong kebaikan yang sudah dibiasakan?
Maukah kita lanjutkan penghentian keburukan yang sudah terlanjur dihibernasikan?
Benar apa kata pahlawan kita, “Mempertahankan kemerdekaan
lebih berat daripada meraihnya – melanjutkan berjalannya kebaikan dan
berhentinya keburukan lebih berat daripada memulainya di bulan Ramadhan.”
Semoga Allah memberikan keberkahan atas bulan-bulan selanjutnya,
setelah Ramadhan...
Barakallahufiikum
Allahummarhamnaa bil Qur’aan
Allahummaj'alnaa min ahlul Qur'aan
(schiz)
Posting Komentar